ya... semuanya... sebenarnya sesungguhnya pada hakikatnya kita semua adalah manusiayang berjalan di atas garis waktu, terombang-ambing antara harapan dan kenyataan. Kita mengejar mimpi, namun sering kali tersandung oleh ekspektasi. Kita berusaha memahami dunia, padahal terkadang kita bahkan tak memahami diri sendiri.
Siswa atau Mesin Produksi?
Batasan? Sejak kapan kebebasan berbicara diberi pagar dan dikasih gembok? Apakah kami harus meminta izin dulu sebelum mengeluh? Oh, tunggu… mungkin keluhan kami nanti akan dianggap sebagai ‘kurang bersyukur’ atau ‘tidak memahami perjuangan sekolah demi kebaikan kami’.
Baiklah, mari kita bahas satu per satu.
Acara keagamaan katanya wajib menghadirkan habib. Seperti salat saja, kalau absen mungkin bisa dicatat sebagai dosa besar. Tapi, apakah acaranya akan otomatis membawa keberkahan akademik? Apakah setelah menghadirinya, nilai UTBK kami melonjak seperti keajaiban? Kalau memang begitu, tolong jadwalkan kajian spesial bertajuk “Rahasia Lolos UTBK Tanpa Belajar”. Kami akan datang tanpa perlu undangan.
Lalu soal liburan, ini bagian yang paling absurd. Awalnya dipotong tanpa alasan yang jelas. Tiket sudah dibeli, koper sudah setengah dikemas, tiba-tiba aturan berubah. Katanya mengikuti edaran pemerintah. Lucu, ya? Di awal sekolah sibuk memutuskan sendiri, tapi setelah banyak protes, baru ingat kalau ada edaran yang harus diikuti. Sekarang pertanyaannya: Kalau benar-benar mengikuti edaran, kenapa sejak awal jadwal liburan kami dipangkas?
Tapi baiklah, kami paham. Kami ini siswa madrasah, harus siap berkorban. Waktu, tenaga, bahkan kewarasan. Pendidikan itu penting, katanya. Masa depan harus diperjuangkan, katanya. Tapi apakah pihak sekolah sadar kalau kami ini manusia? Bukan robot yang bisa dipaksa bekerja 24/7 dengan dalih ‘demi kebaikan sendiri’?
Jadwal kami sudah padat, istirahat sudah minimal, tekanan akademik sudah maksimal. Kami rela begadang, bukan untuk bersenang-senang, tapi untuk belajar, menyelesaikan tugas, memenuhi ekspektasi yang terus-menerus naik tanpa peduli apakah kami masih bisa bernapas. Dan apa yang kami dapat? Liburan yang dijanjikan, tapi dipangkas. Waktu bersama keluarga yang harusnya menjadi hak, malah dianggap sebagai kemewahan.
Katanya kali ini liburan akan lebih panjang. Realitasnya? Bahkan saat Ramadan, ketika seharusnya kami bisa pulang dan mengisi kembali tenaga, sekolah masih berpikir bahwa "produktif lebih penting daripada istirahat”. Kami bertanya-tanya, apakah sekolah benar-benar ingin mencetak generasi cerdas, atau hanya sekadar ingin melihat seberapa lama kami bisa bertahan tanpa kelelahan mental total?
Pendidikan yang baik itu bukan soal seberapa banyak materi yang bisa dijejalkan ke kepala kami. Bukan soal berapa banyak waktu istirahat yang bisa disita demi prestasi semu. Kami butuh keseimbangan. Kami ingin berkembang sebagai manusia, bukan sebagai zombie akademik yang matanya kosong dan otaknya dipenuhi deadline.
Jadi, pertanyaannya sekarang: Apakah suara kami akan didengar? Atau harus menunggu sampai kami benar-benar tumbang dulu, baru dianggap serius?
Keluhan Tanpa Refleksi, Disilakan Bercermin
Sepertinya ada kebingungan di sini. Sejak kapan kebebasan berbicara berarti kebebasan menyalahkan? Sejak kapan kritik hanya boleh diarahkan ke satu pihak tanpa refleksi diri? Mari kita luruskan beberapa hal, karena sepertinya ada yang terlalu sibuk mengeluh tanpa berpikir.
Soal acara keagamaan. Katanya “tidak optimal” dan “tidak memberi dampak langsung.” Baik, kalau begitu mari kita buat perbandingan. Ketika guru menjelaskan pelajaran di kelas, apakah semua siswa menyerap ilmunya? Jujur saja, banyak yang lebih sibuk dengan imajinasi, ada yang menunduk pura-pura mencatat padahal mengantuk, dan ada yang hanya menunggu waktu berlalu. Lantas, apakah itu berarti sekolah harus berhenti mengajar? Tidak. Karena pendidikan itu soal kesempatan, bukan soal siapa yang mau atau tidak mau mengambil manfaatnya. Sama halnya dengan acara keagamaan. Kalau ada yang datang dengan pikiran tertutup, tentu tidak akan mendapat apa-apa. Salah acaranya, atau salah yang hadir dengan mentalitas ogah-ogahan?
Sekarang soal liburan. Katanya sekolah plin-plan, katanya sekolah seenaknya memotong hari libur. Menarik. Sejak awal, kalender akademik sudah disusun berdasarkan banyak pertimbangan. Tapi begitu ada perubahan menyesuaikan edaran pemerintah, tiba-tiba sekolah yang disalahkan. Lucu, bukan? Ketika aturan dibuat, kalian mengeluh tidak fleksibel. Ketika ada penyesuaian, kalian mengeluh tidak konsisten. Jadi, yang benar bagaimana? Atau jangan-jangan sebenarnya kalian hanya mau aturan yang sesuai keinginan sendiri?
Dan ini yang paling menggelitik keluhan tentang “tekanan akademik.” Katanya jadwal terlalu padat, istirahat terlalu sedikit, tekanan terlalu berat. Baik, mari kita telusuri lebih dalam. Siapa yang sering tidur larut karena scrolling media sosial sampai subuh? Siapa yang menunda tugas sampai detik terakhir lalu panik? Siapa yang menghabiskan waktu luang untuk hal-hal yang tidak produktif, lalu ketika kewalahan, buru-buru menyalahkan sekolah? Kami tidak bilang semua siswa seperti ini, tapi kalau merasa tersindir, mungkin ada benarnya.
Pendidikan itu bukan sekadar soal “merasa nyaman.” Kalau kalian ingin sukses tanpa usaha keras, silakan cari dunia alternatif, karena di dunia nyata, semua pencapaian besar datang dengan perjuangan. Kami tidak di sini untuk menciptakan generasi yang rapuh, yang sedikit ditekan langsung berteriak “terlalu berat!” Kami ingin membentuk individu yang tangguh, yang paham bahwa hidup tidak selalu memberi kenyamanan, tapi selalu memberi kesempatan bagi mereka yang mau berusaha.
Pondok lain aja libur 3 minggu
Lucu banget sih, sejak kapan kritik dianggap sebagai nyalah-nyalahin doang? Sejak kapan ngeluh itu artinya kita gak bisa refleksi diri? Kalau ada yang gak beres, masa iya disuruh diam aja? Kalau sistemnya gak jalan, bukannya harus diperbaiki?
Soal acara keagamaan. Katanya kalau gak dapet manfaat, itu salah kita sendiri karena mindset-nya udah negatif duluan. Oke, mari kita tanya balik: emang acaranya udah disiapin dengan baik? Udah sesuai sama kebutuhan dan cara berpikir kita? Kalau ada banyak yang ngerasa acara ini gak ngefek, itu tanda acaranya perlu dievaluasi, bukan malah nyalahin yang datang. Jangan-jangan masalahnya bukan di pesertanya, tapi di cara penyampaiannya.
Sekarang soal liburan. Katanya kita terlalu baper kalau ada perubahan kalender akademik. Lah? Sejak kapan siswa gak boleh minta kejelasan? Kalau dari awal udah ada jadwal, terus tiba-tiba diubah tanpa penjelasan yang proper, wajar dong kalau kita mempertanyakan. Kita bukannya minta aturan yang saklek, tapi kalau setiap ada perubahan kita selalu disuruh ‘maklum’ tanpa diskusi, ya gimana? Kita juga punya hak buat dapet kepastian.
Terus yang paling sering disalahin: tekanan akademik. Katanya kita sering begadang gara-gara scrolling medsos, prokrastinasi, terus panik sendiri. Ya emang ada yang kayak gitu, tapi gak semua! Banyak dari kita udah berusaha manajemen waktu, tapi tetep aja sistemnya bikin kita kewalahan. Kalau satu-dua orang yang ngeluh, mungkin itu masalah personal. Tapi kalau mayoritas siswa ngerasa hal yang sama? Itu tandanya ada yang salah sama sistemnya, bukan cuma orangnya.
Dengar baik-baik: tough itu bukan berarti harus terbiasa disiksa. Kita gak nolak perjuangan. Kita gak takut usaha keras. Tapi kalau sistem yang ada malah bikin banyak dari kita burnout, capek, dan kehilangan motivasi, itu bukan tanda kita lemah. Itu tanda ada yang harus diperbaiki. Pendidikan yang baik bukan cuma soal ‘membentuk mental baja,’ tapi juga soal bikin lingkungan yang sehat buat berkembang.